Ensiklopedia indonesia
Arsitektur Indonesia dipengaruhi oleh keanekaragaman budaya, sejarah dan geografi di Indonesia. Para penyerang, penjajah, dan pedagang membawa perubahan kebudayaan yang sangat memperuhi gaya dan teknik konstruksi bangunan. Pengaruh asing yang paling kental pada zaman arsitektur klasik adalah India, meskipun pengaruh Cina dan Arab juga termasuk penting. Kemudian pengaruh Eropa pada seni arsitektur mulai masuk sejak abad ke-18 dan ke-19.
Gelanggang Olahraha Bung Karno atau Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno merupakan Sport Edutainment Complex yang berlokasi di Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Indonesia, didirikan sebagai simbol kemegahan dan kebesaran negara Indonesia yang dapat mempersatukan negara-negara maju dan berkembang. Tonggak sejarah GBK diwali dengan ditunjuknya Indonesia oleh Asian Games Federation sebagai Tuan Rumah Asian Games IV pada tahun 1962. Momentum tersebut disambut baik oleh Presiden Soekarno dengan membangun sebuah mega proyek venue olahraga yang dilengkapi dengan beberapa fasilitas seperti Wisma Atlet dan diberi nama Gelora Bung Karno.
Kompleks ini dibangun sebagai Kompleks Asian Games pada tahun 1960 untuk Pesta Olahraga Asia 1962[3][4] dan baru-baru ini menjalani rekonstruksi besar untuk Pesta Olahraga Asia 2018 dan Pesta Olahraga Difabel Asia 2018.
Kompleks olahraga ini dinamai untuk menghormati Soekarno, Presiden pertama Indonesia, yang juga merupakan tokoh yang mencetuskan gagasan pembangunan kompleks olahraga ini. Dalam rangka de-Soekarnoisasi, pada masa Orde Baru, nama kompleks olahraga ini diubah menjadi Gelora Senayan. Setelah bergulirnya gelombang reformasi pada 1998, nama kompleks olahraga ini dikembalikan kepada namanya semula melalui Surat Keputusan Presiden No. 7/2001.[5] Kompleks ini adalah kompleks olahraga tertua dan terbesar di Jakarta dan Indonesia, dan juga salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Stadion Utama Gelora Bung Karno adalah bangunan utama dalam kompleks olahraga ini. Singkatan Gelora dalam bahasa Indonesia juga berarti gejolak (seperti pada api atau ombak laut).[6]
Selain sebagai rumah bagi sejumlah fasilitas olahraga, kompleks olahraga ini juga merupakan tempat yang populer bagi masyarakat Jakarta untuk melakukan latihan fisik; joging, bersepeda, aerobik, dan senam khususnya saat akhir pekan.
Setelah Federasi Asian Games menyatakan Jakarta menjadi tuan rumah Pesta Olahraga Asia 1962 pada tahun 1958,[9] persyaratan minimum yang belum dipenuhi oleh Jakarta adalah ketersediaan kompleks multi-olahraga. Menanggapi hal ini, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 113/1959 tanggal 11 Mei 1959 tentang pembentukan Dewan Asian Games Indonesia (DAGI) yang dipimpin oleh Menteri Urusan Pemuda dan Olahraga Maladi.[10] Soekarno, sebagai seorang arsitek dan sarjana teknik sipil, mengusulkan lokasi di dekat Jalan M. H. Thamrin dan Menteng, yaitu daerah Karet, Pejompongan, atau Dukuh Atas. Frederich Silaban, seorang arsitek terkenal yang mendampingi Soekarno untuk meninjau lokasi dengan helikopter, tidak setuju dengan pemilihan Dukuh Atas karena ia berpendapat pembangunan kompleks olahraga di pusat daerah pusat kota masa depan akan berpotensi menciptakan kemacetan lalu lintas besar-besaran. Soekarno setuju dan malah menugaskan daerah Senayan dengan luas sekitar 300 hektar.[11]
Pemancangan tiang pertama dilakukan secara simbolis oleh Soekarno pada tanggal 8 Februari 1960. Pembangunan Istora selesai pada Mei 1961. Stadion sekunder, Stadion Renang (Pusat Akuatik) dan Stadion Tenis selesai pada bulan Desember 1961. Stadion Utama selesai pada 21 Juli 1962, sebulan sebelum pertandingan.
Istana Maimun adalah istana Kesultanan Deli yang merupakan salah satu ikon Kota Medan, Sumatra Utara. Istana ini terletak di Jalan Brigadir Jenderal Katamso, Aur, Medan Maimun.
Istana Maimun didesain oleh arsitek Capt. Theodoor van Erp, seorang tentara Kerajaan Belanda yang dibangun atas perintah Sultan Deli, Sultan Ma'moen Al Rasyid.[3] Pembangunan istana ini dimulai dari 26 Agustus 1888 dan selesai pada 18 Mei 1891. Istana Maimun memiliki luas sebesar 2.772 m2 dan 30 ruangan.[1] Istana Maimun terdiri dari 2 lantai dan memiliki 3 bagian yaitu bangunan induk, bangunan sayap kiri dan bangunan sayap kanan. Bangunan istana ini menghadap ke Timur dan pada sisi depan terdapat bangunan Masjid Al-Mashun atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Raya Medan.
Istana Maimun menjadi tujuan wisata bukan hanya karena usianya yang tua, tetapi juga desain interiornya yang unik, memadukan unsur-unsur warisan kebudayaan Melayu Deli, dengan gaya Islam, Spanyol, India, Belanda dan Italia.[3] Namun sayang, tempat wisata ini tidak bebas dari kawasan Pedagang kaki lima.
Masjid Agung Baitul Makmur adalah masjid terbesar dan termegah di kawasan pantai sebelah barat Kabupaten Aceh Barat. Masjid yang terletak di Drien Rampak, Kec. Johan Pahlawan ini memiliki arsitektur antara perpaduan Timur Tengah, Asia dan Aceh.[1]
Kombinasi antara keluasaan bangunan dan keindahan arsitektur yang membentuk satu struktur kemegahan telah menjadikan Masjid Agung Baitul Makmur masuk ke dalam 100 Masjid Terindah di Indonesia, sebuah buku yang disusun oleh Teddy Tjokrosaputro & Aryananda yang diterbitkan oleh PT Andalan Media, Agustus 2011 setebal 209 halaman.
Bangunan Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh tampak sangat menonjol dengan gaya arsitektur perpaduan Timur Tengah, Asia, dan Aceh serta pemilihan warna cokelat cerah yang dikombinasikan dengan warna merah bata di kubah masjid.
Ciri khas masjid yang dapat dilihat secara kasatmata adalah tiga kubah utama yang diapit dua kubah menara air berukuran lebih kecil. Bentuk kepala semua kubah sama, yakni bulat berujung lancip, khas paduan arsitektur Timur Tengah dan Asia. Masjid ini akan dilengkapi dua menara baru yang hingga tulisan ini diturunkan masih dalam tahap penyelesaian. Menara tersebut akan membuat masjid terlihat semakin megah dan dapat berfungsi sebagai landmark Kota Meulaboh wilayah setempat.
Pintu gerbang masjid pun merupakan keistimewaan tersendiri. Gerbang yang berdiri sendiri dengan jarak beberapa meter dari masjid ini terlihat sangat anggun. Gerbang ini seakan-akan menegaskan bahwa siapa pun yang memasuki gerbang akan menjumpai pemandangan yang sangat indah.
Di dalam masjid terlihat dua konsep ruang yang berbeda. Pertama, pengunjung disambut oleh ruangan yang memiliki banyak tiang penyangga lantai dua sebagai mezzanine. Di bagian tengah terdapat ruang lapang yang terasa sangat lega dengan ornamen lampu hias tepat di tengahnya.
Inspirasi gaya arsitektur Timur Tengah juga terlihat dari bentuk mihrab. Mihrab yang terlihat sangat indah ini didominasi warna cokelat dan nuansa keemasan khas material perunggu dengan ornamen khas Islam. Kesan mewah dan sejuk langsung terasa saat menatapnya.
Masjid Agung Jawa Tengah (bahasa Jawa: ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦄꦒꦼꦁꦗꦮꦶꦠꦼꦔꦃ, translit. Masjid Agêng Jawi Têngah) adalah masjid yang terletak di Semarang, provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
Masjid ini mulai dibangun sejak tahun 2001 hingga selesai secara keseluruhan pada tahun 2006. Masjid ini berdiri di atas lahan 10 hektare. Masjid Agung diresmikan oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 14 November 2006. Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) merupakan masjid provinsi bagi provinsi Jawa Tengah.
Masjid Istiqlal (arti harfiah: Masjid Merdeka) adalah masjid nasional negara Republik Indonesia yang terletak di bekas Taman Wilhelmina, di timur laut Lapangan Medan Merdeka yang di tengahnya berdiri Monumen Nasional (Monas), di pusat ibu kota Jakarta. Masjid ini merupakan salah satu dari 10 masjid terbesar kapasitasnya di dunia yang dapat menampung lebih dari 200.000 jemaah. Di seberang timur masjid ini berdiri Gereja Katedral Jakarta. Ketua Harian Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI) sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal adalah Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A.[5][6] [7]
Pembangunan masjid ini diprakarsai oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir. Soekarno. Peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Istiqlal dilakukan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1961. Arsitek Masjid Istiqlal adalah Frederich Silaban, seorang Nasrani.[8]
Masjid ini memiliki gaya arsitektur modern dengan dinding dan lantai berlapis marmer, dihiasi ornamen geometrik dari baja antikarat. Bangunan utama masjid ini terdiri dari lima lantai dan satu lantai dasar. Bangunan utama itu dimahkotai satu kubah besar berdiameter 45 meter yang ditopang 12 tiang besar. Menara tunggal setinggi total 96,66 meter menjulang di sudut Selatan selasar masjid. Masjid ini mampu menampung lebih dari 200.000 jemaah.[9]
Selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam, masjid ini juga digunakan sebagai kantor berbagai organisasi Islam di Indonesia, aktivitas sosial, dan kegiatan umum. Masjid ini juga menjadi salah satu daya tarik wisata yang terkenal di Jakarta. Kebanyakan wisatawan yang berkunjung umumnya wisatawan domestik di samping sebagian wisatawan asing yang beragama Islam. Masyarakat non-Muslim juga dapat berkunjung ke masjid ini setelah sebelumnya mendapat pembekalan informasi mengenai Islam dan Masjid Istiqlal, meskipun bagian yang boleh dikunjungi kaum non-Muslim terbatas dan harus didampingi pemandu.
Pada tiap hari besar Islam seperti Ramadan, Idulfitri, Iduladha, Tahun Baru Hijriyah, Maulid Nabi Muhammad serta Isra Mikraj, Presiden Republik Indonesia selalu mengadakan kegiatan keagamaan di masjid ini yang disiarkan secara langsung melalui televisi nasional (TVRI) dan sebagian televisi swasta.
Masjid Raya Baiturrahman (Aksara Jawoë : مسجد راي بايتوررحمن ) adaaa salah satu masjid yang ada di Desa Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Masyarakat Aceh menggunakan masjid ini sebagai tempat ibadah dan syiar Islam. Masjid Raya Baiturrahman didirikan oleh Sultan Alauddin Mahmud Syah I pada tahun 1292 M. Bahan bangunan yang pertama terdiri dari kayu dan menggunakan atap dari rumbia. Belanda sempat menguasai masjid selama penyerbuan di Aceh pada tahun 1873 di bawah komando Jenderal Kohler. Masjid Raya Baiturrahman pernah dibakar oleh Belanda pada tahun 1874 saat penyerbuan kedua. Belanda memutuskan untuk membangun kembali masjid pada tanggal 9 Oktober 1879 atas nasehat Snouck Horgronje. Bangunan masjid dirancang oleh Kapten Genie Marechausse dan peletakan batu pertama dilakukan oleh Teungku Malikul Adil disaksikan oleh pembesar Belanda. Model Masjid Baiturrahman mencerminkan arsitektur Eropa dan Islam. Kubah masjid hanya satu sampai awal tahun 1935. Setelahnya masjid diperluas sehingga menambah dua kubah lagi. Kubah masjid bertambah menjadi 5 pada tahun 1957 setelah masjid diperbesar lagi. Masjid Raya Baiturrahman dipugar tahun 1979 dipugar dalam Proyek Pembinaan dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Denah masjid berbentu empat persegi dengan pintu masuk berupa relung-relung tanpa daun pintu. Di bagian atasnya dihiasi dengan menara-menara. Kaligrafi Islam terpajang pada dinding ruangan, sedangkan pada jendela dan pintu terdapat hiasan empat persegi, belah ketupat, sulur dan bunga. Ruang ibadah memiliki tiang-tiang dengan hiasan lengkungan, daun, dan garis-garis. Mihrab dan mimbar dihiasi daun-daunan, bunga dan sulur-sulur. Di depan halaman masjid terdapat menara yang sangat tinggi dengan tangga beton berputar. Atap masjid berbentuk kubah berjumlah lima buah dengan hiasan memolo berbentuk bulat di puncak kubah.[2] Masjid Raya Baiturrahman adalah simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme rakyat Aceh. Masjid ini adalah landmark Banda Aceh sejak era Kesultanan Aceh dan selamat dari bencana tsunami pada 26 Desember 2004 silam.
Masjid Raya Medan atau Masjid Raya Al-Mashun (Aksara Jawi: مسجد راي ميدن) merupakan sebuah masjid yang terletak di Kota Medan, Indonesia. Masjid ini dibangun pada tahun 1906 dan selesai pada tahun 1909. Pada awal pendiriannya, masjid ini menyatu dengan kompleks istana. Gaya arsitekturnya khas Timur Tengah, India dan Spanyol. Masjid ini berbentuk segi delapan dan memiliki sayap pada bagian selatan, timur, utara, dan barat. Masjid Raya Medan ini merupakan saksi sejarah peradaban Melayu Deli, yang memiliki keterkaitan erat dengan Kesultanan Deli.
Masjid Raya Sumatra Barat (Jawi: مسجد راي سومترا بارت) adalah masjid terbesar di Sumatra Barat yang terletak di Jalan Chatib Sulaiman, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Diawali peletakan batu pertama pada 21 Desember 2007, pembangunannya tuntas pada 4 Januari 2019 dengan total biaya sekitar Rp325–330 miliar, sebagian besar berasal dari APBD Sumatra Barat. Pengerjaannya dilakukan secara bertahap karena keterbatasan anggaran dari provinsi.
Konstruksi masjid terdiri dari tiga lantai. Ruang utama yang dipergunakan sebagai ruang salat terletak di lantai atas, memiliki teras yang melandai ke jalan. Denah masjid berbentuk persegi yang melancip di empat penjurunya, mengingatkan bentuk bentangan kain ketika empat kabilah suku Quraisy di Mekkah berbagi kehormatan memindahkan batu Hajar Aswad. Bentuk sudut lancip sekaligus mewakili atap bergonjong pada rumah adat Minangkabau rumah gadang.
Menurut rencana awal, Masjid Raya Sumatra Barat akan dibangun dengan biaya sedikitnya Rp600 miliar karena rancangannya didesain dengan konstruksi tahan gempa. Kerajaan Arab Saudi pernah mengirim bantuan sekitar Rp500 miliar untuk pembangunan masjid, tetapi karena terjadi gempa bumi pada 2009, peruntukan bantuan dialihkan oleh pemerintah pusat untuk keperluan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana. Pada 2015, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla meminta anggaran pembangunan dipangkas.[1][2] Pemangkasan anggaran membuat desain masjid berubah di tengah jalan, termasuk pengurangan jumlah menara dari awalnya empat menjadi satu.