Ensiklopedia indonesia


Catalog Medien und Presse

Kompas adalah surat kabar nasional Indonesia dari Jakarta yang terbit sejak 28 Juni 1965.
Kompas (lit. 'Compass') is an Indonesian national newspaper from Jakarta which was founded on 28 June 1965. The paper is published by PT Kompas Media Nusantara, which is a part of Kompas Gramedia Group. Its head office is located at the Kompas Multimedia Towers, Tanah Abang, Central Jakarta.

Kompas adalah surat kabar nasional Indonesia dari Jakarta yang terbit sejak 28 Juni 1965. Surat kabar ini diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara yang merupakan bagian dari Kompas Gramedia. Kantor pusatnya terletak di Menara Kompas Lt. 5, Jl. Palmerah Selatan No. 21, Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Slogan surat kabar ini adalah Amanat Hati Nurani Rakyat.

Surat Kabar Kompas juga terbit dalam bentuk daring di alamat Kompas.id yang dikelola oleh PT. Kompas Media Nusantara [1] berisi konten surat kabar harian Kompas dalam bentuk teks, gambar, dan format koran. Kompas.id dan Kompas.com adalah dua institusi yang berbeda. Kompas.com dikelola oleh PT Kompas Cyber Media yang merupakan anak perusahaan PT. Kompas Media Nusantara. Harian Kompas adalah satu di antara dua (2) koran di Indonesia yang diaudit oleh Audit Bureau of Circulations (ABC).[2][3]

Sejarah

Ide awal penerbitan harian ini datang dari Jenderal Ahmad Yani, yang mengutarakan keinginannya kepada Frans Xaverius Seda (Menteri Perkebunan dalam kabinet Soekarno) untuk menerbitkan surat kabar yang berimbang, kredibel, dan independen. Frans kemudian mengemukakan keinginan itu kepada dua teman baiknya, Peter Kansius Ojong (Tionghoa: Auwjong Peng Koen) (1920-1980), seorang pimpinan redaksi mingguan Star Weekly, dan Jakob Oetama, wartawan mingguan Penabur milik gereja Katolik, yang pada waktu itu sudah mengelola majalah Intisari ketika PT Kinta akan mengalami kebangkrutan yang terbit tahun 1963. Ojong langsung menyetujui ide itu dan menjadikan Jakob Oetama sebagai editor in-chief pertamanya.

Pada tahun 1964, Presiden Soekarno mendesak Partai Katholik untuk mendirikan media cetak berbentuk surat kabar, maka dari wartawan bulanan Intisari inilah sebagian wartawan Katolik direkrut. Selanjutnya, beberapa tokoh Katolik tersebut mengadakan pertemuan bersama beberapa wakil elemen hierarkis dari Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI): Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Wanita Katolik. Mereka sepakat mendirikan "Yayasan Bentara Rakyat".

Susunan pengurus pertama dari Yayasan Bentara Rakyat adalah Ignatius Joseph Kasimo (ketua Partai Katolik) sebagai ketua, Frans Seda sebagai wakil ketua, Franciscus Conradus Palaoensoeka sebagai penulis pertama, Jakob Oetama sebagai penulis kedua, dan P.K. Ojong sebagai bendahara. Dari yayasan tersebut, harian ini mulai diterbitkan.

Edisi perdana harian ini memuat karya terjemahan tentang bintang layar perak Marilyn Monroe, pengalaman perjalanan Nugroho Notosusanto, seorang ahli sejarah dari Universitas Indonesia, ke London, Britania Raya, dan kisah Usmar Ismail, sutradara film kenamaan, ketika pertama kali membuat film.

Pada awal penerbitannya, Frans Seda disarankan oleh Jenderal Ahmad Yani agar Kompas memberikan wacana untuk menandingi wacana Partai Komunis Indonesia yang berkembang pada saat itu. Namun secara pribadi, Jacob Oetama dan beberapa pemuka agama Katolik seperti Monsignor Albertus Soegijapranata dan I.J. Kasimo tidak mau menerima begitu saja, karena mengingat kontekstual politik, ekonomi dan infrastruktur pada saat itu tidak mendukung.

Tetapi, tekad Partai Katolik menerbitkan surat kabar sudah final. P.K. Ojong dan Jakob Oetama ditugaskan membangun perusahaan. Mulailah mereka bekerja mempersiapkan penerbitan surat kabar baru, corong Partai Katolik. Tapi, suhu politik yang memanas saat itu membuat pekerjaan mereka bukan perkara yang mudah. Rencananya, surat kabar ini diberi nama "Bentara Rakyat". Menurut Frans Seda, PKI tahu rencana itu lantas dihadang. Namun, karena Bung Karno setuju jalan terus hingga izinnya keluar. Frans Seda mengacu pada PKI yang merupakan salah satu partai besar di Indonesia pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an, serta PKI memenangkan tempat keempat dalam pemilihan umum 1955.

Izin sudah dimiliki, tetapi "Bentara Rakyat" tidak kunjung terbit. Rupanya rintangan belum semuanya berlalu. Masih ada satu halangan yang harus dilewati, yakni izin dari Panglima Militer Jakarta yang pada saat itu dijabat oleh Letnan Kolonel Dachja. Dari markas militer Jakarta, diperoleh jawaban izin operasi keluar apabila syarat 5.000 tanda tangan pelanggan terpenuhi. Akhirnya, para wartawan pergi ke pulau Flores untuk mendapatkan tanda tangan tersebut, karena memang mayoritas penduduk Flores beragama Katolik.

Nama "Bentara" sesuai dengan selera orang Flores. Majalah Bentara, katanya, juga sangat populer di sana. Ketika akan menjelang terbit petama kalinya, Frans Seda melaporkan pada presiden Soekarno tentang persiapan terbitan perdana harian tersebut. Namun, dari Presiden Soekarno inilah lahir nama “Kompas” yang berarti adalah penunjuk arah. Akhirnya berdasarkan kesepakatan redaksi pada saat itu, untuk menerima usulan dari Presiden Soekarno untuk mengubah nama harian Bentara Rakyat menjadi Kompas. Atas usul Presiden Soekarno, namanya diubah menjadi Kompas. Menurut Bung Karno, "Kompas" berarti pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba.[4][5]

Setelah mengumpulkan tanda bukti 3000 calon pelanggan sebagai syarat izin penerbitan, akhirnya Kompas terbit pertama kali pada tanggal 28 Juni 1965 di Jakarta.[6] Pada mulanya kantor redaksi Kompas masih menumpang di rumah Jakob Oetama, kemudian berpindah menumpang di kantor redaksi Majalah Intisari. Pada terbitan perdananya, Kompas hanya terbit dengan empat (4) halaman dengan iklan yang hanya berjumlah enam (6) buah.[7] Selanjutnya, pada masa-masa awal berdirinya (1965) Koran Kompas terbit sebagai surat kabar mingguan dengan 8 halaman, lalu terbit 4 kali seminggu, dan hanya dalam kurun waktu 2 tahun telah berkembang menjadi surat kabar harian nasional dengan oplah mencapai 30.650 eksemplar.[8]

Kompas edisi pertama dicetak oleh P.N. Eka Grafika, milik harian Abadi yang berafiliasi pada Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Tepat 28 Juni 1965, Kompas mulai diterbitkan untuk pertama kalinya dengan motto “Amanat Hati Nurani Rakyat.” Berita utama pada halaman pertama berjudul “Konferensi Asia-Afrika II Ditunda Empat Bulan.” Sementara Pojok kanan bawah mulai memperkenalkan diri dengan kalimat “Mari ikat hati. Mulai hari ini, dengan Mang Usil”. Kompas sebuah surat kabar harian pertama kali yang terbit di Jakarta sejak pada 28 Juni 1965, maka dari itu tanggal 28 Juni dijadikan hari lahir Kompas.

Di halaman pertama pojok kiri atas, tertulis nama staf: Pemimpin Redaksi Jakob Oetama; Staf Redaksi J. Adisubrata, Lie Hwat Nio, Marcel Beding, Th. Susilastuti, Tan Soei Sing, J. Lambangdjaja, Tan Tik Hong, Th. Ponis Purba, Tinon Prabawa, dan Eduard Liem. Menurut Jakob Oetama, nama P. K. Ojong ketika itu tabu politik. Lagipula, figur Ojong tidak disukai Soekarno.

Dalam kontekstual politik pada saat itu untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Pagi hari 30 September 1965, tepat tiga bulan usia Kompas, sebagian besar warga Jakarta terlelap dalam tidur pulasnya, ketika sekelompok tentara bersenjata menangkap beberapa jenderal yang dituduh terlibat dalam Dewan Jenderal. Peristiwa ini mengubah jalannya republik. Sejarah mencatat sebagai upaya perebutan kekuasaan terhadap pemerintahan Soekarno. Seperti beberapa harian yang terbit bersama dengan Kompas, mereka tidak terlepas dari upaya untuk memberikan tandingan kepada pers yang berafiliasi dengan ideologi kiri seperti PKI, dan harian yang dituduh tidak revolusioner lainnya.

Sehari setelah peristiwa itu, Agus Parengkuan dan Ponis Purba yang tengah mendapat giliran tugas malam, diberi tahu pihak percetakan bahwa Kompas beserta surat-kabar lain tak boleh terbit. Hanya harian Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, kantor berita Antara, dan Pemberitaan Angkatan Bersenjata yang diperbolehkan menyiarkan berita. Larangan untuk tidak naik cetak tersebut dikeluarkan oleh pihak militer Jakarta. Dalam surat perintah itu disebutkan “dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpang-siur mengenai pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September atau Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap media-media pemberitaan.

Ketika itu, Agus Parengkuan dan Ponis Purba tetap yakin Kompas tak perlu dilarang terbit. Alasannya, Kompas sudah mengecam pemberontakan, dan di dalam lay out sudah disiapkan bahwa Kompas edisi 2 Oktober juga memuat pernyataan sikap dari Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana RE Martadinata.

Penyerangan terhadap PKI ternyata tak menyelamatkan Kompas. Koran itu baru boleh terbit lagi pada 6 Oktober 1965. Rentang waktu seminggu itu, hingga saat ini menjadi misteri yang belum terkuak. Banyak asumsi, pertanyaan, dan analisis bergentayangan. Mengapa seluruh koran dibredel dan hanya menyisakan koran milik militer? Pertumbuhan Kompas meningkat. Saat pertama kali dicetak, oplah Kompas sekitar 4.800 eksemplar. Ketika pindah ke percetakan yang lebih bagus, Percetakan Masa Merdeka, tirasnya meningkat jadi 8.003 eksemplar, hingga menjelang pembredelan yang dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto.

Saat terbit kembali pada 6 Oktober 1965, tiras Kompas menembus angka 23.268 eksemplar. Zaman berganti. Soekarno diganti Jenderal Soeharto. Pada 1999, setahun sesudah Soeharto dipaksa mundur, tiras Kompas mencapai angka lebih dari 600 ribu eksemplar per hari. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga riset AC Nielsen tahun 1999 menunjukkan pasar terbesar masih seputar Jakarta 46,77%, Bogor, Tangerang, dan Bekasi 13,02%, Jawa Barat 13.02%, Jawa Tengah, Yogyakarta 6,67%, Jawa Timur 2,04%, Sumatra 8,81%, Kalimantan 2,16%, dan Indonesia Timur 4,23%. Gramedia sebagai perusahaan induk Kompas tercatat sebagai persuahaan yang membayar pajak terbesar nomor 32 pada tahun 1980 sedang pada tahun pada tahun 1993 untuk perusahaan PT Kompas Media Nusantara saja diperkirakan menghasillkan Rp 240 miliar setahun dengan keuntungan bersih Rp 30 sampai 35 triliun. Tahun 1991 PT Gramedia dengan penerbitan bukunya menduduki urutan ke-151.

Seiring dengan pertumbuhannya, seperti kebanyakan surat kabar yang lain, harian Kompas saat ini dibagi menjadi tiga bagian (section), yaitu bagian depan yang memuat berita nasional dan internasional, bagian berita bisnis dan keuangan, bagian berita olahraga dan iklan baris yang disebut dengan "Klasika". Harian Kompas diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara.

Dieses Bild, Video oder Audio ist eventuell urheberrechtlich geschützt. Es wird nur für Bildungszwecke genutzt. Wenn Sie es finden, benachrichtigen Sie uns bitte per und wir werden es sofort entfernen.
Perusahaan Umum Lembaga Kantor Berita Nasional Antara (atau disingkat Perum LKBN Antara) merupakan kantor berita di Indonesia, yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia.
Antara News (indonesisch: Berita ANTARA) ist die offizielle Nachrichtenagentur der indonesischen Regierung.

Perusahaan Umum Lembaga Kantor Berita Nasional Antara (atau disingkat Perum LKBN Antara) merupakan kantor berita di Indonesia, yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Perum LKBN Antara merupakan BUMN yang diberikan tugas oleh Pemerintah untuk melakukan peliputan dan penyebarluasan informasi yang cepat, akurat, dan penting, ke seluruh wilayah Indonesia dan dunia internasional.

Naamloze Vennootschap (NV) Kantor Berita Antara didirikan pada tanggal 13 Desember 1937, dimana pada saat itu diterbitkan untuk pertama kalinya, Buletin Antara, bertempat di jalan Raden Saleh Kecil No. 2, Jakarta. Para pendirinya antara lain Albert Manumpak Sipahutar, Mr. SoemanangAdam Malik dan Pandoe Kartawigoena, saat semangat kemerdekaan nasional digerakkan oleh para pemuda pejuang.[4]

Redaktur pertamanya adalah Abdul Hakim dan dibantu oleh Sanoesi Pane, Mr. Soemanang, Mr. Alwi, Sjaroezah, Sg. Djojopoespito.[4][5][6]

Pada tahun 1941, jabatan Direktur oleh Mr. Sumanang diserahkan kepada Sugondo Djojopuspito (mantan mahasiswa RH usia 36 th pada waktu itu, kawan Soemanang yang juga mantan mahasiswa RH, yang bekerja di Biro Statistik), sedangkan jabatan Redaktur tetap pada Adam Malik yang merangkap sebagai Wakil Direktur.

Kemudian Kantor Antara tahun 1942 pindah ke Noord Postweg 53 Paser Baroe (sekarang Jl. Pos Utara No. 53 Pasar Baru) bersama dengan Kantor Berita Domei, dan Soegondo pindah bekerja di Kantor Shihabu, sedangkan Adam Malik dan AM Sipahutar tetap menjadi pegawai Domei.

Tahun 1946, pada saat ibukota NKRI hijrah ke Yogyakarta, maka kantornya juga berpindah kesana. Pada masa itu, Direkturnya adalah Adam Malik, dengan pimpinan sehari-hari adalah Pangulu Lubis dan Rachmat Nasution, ayah dari Adnan Buyung Nasution.[7]

Pada tahun 1962, Antara resmi menjadi Lembaga Kantor Berita Nasional yang berada langsung di bawah Presiden Republik Indonesia. Lembaga Kantor Berita Nasional Antara atau disingkat LKBN Antara merupakan kantor berita terbesar di Indonesia, yang sifatnya semi pemerintah, walaupun ketika pertama kali didirikan oleh para wartawan nasionalis pada masa penjajahan Belanda sebelum PD II sepenuhnya merupakan usaha swasta.

Agar dapat memanfaatkan berbagai peluang bisnis dan untuk menghadapi tantangan konvergensi media sekaligus dapat mengemban tugas pencerdasan bangsa, maka Pemerintah di bawah kepemimpinan H. Susilo Bambang Yudhoyono mengubah status LKBN Antara menjadi Perusahaan Umum (Perum) pada tanggal 18 Juli 2007 melalui PP 40/2007.

Agar menjadi perusahaan yang sehat, LKBN Antara mulai menyusun Neraca Pembuka yang diselesaikan selama dua tahun setelah terbitnya SK Menteri Keuangan pada akhir September 2009. Sejak terbitnya Neraca Pembuka tersebut, kinerja keuangan LKBN Antara dapat dimonitor oleh para pemegang sahamnya.

Dieses Bild, Video oder Audio ist eventuell urheberrechtlich geschützt. Es wird nur für Bildungszwecke genutzt. Wenn Sie es finden, benachrichtigen Sie uns bitte per und wir werden es sofort entfernen.