Ensiklopedia indonesia
Kalimantan (toponim: Kalamantan,[1] Calémantan,[2][3] Kalémantan,[4] Kelamantan, Kilamantan, Klamantan, Klémantan, K'lemantan, Quallamontan[5]), atau juga disebut Borneo oleh dunia internasional. Kalimantan adalah pulau terbesar ketiga di dunia yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan di sebelah barat Pulau Sulawesi. Pulau Kalimantan dibagi menjadi wilayah Indonesia (73%), Malaysia (26%), dan Brunei (1%). Pulau Kalimantan terkenal dengan julukan "Pulau Seribu Sungai" karena banyaknya sungai yang mengalir di pulau ini.
Borneo—yang berasal dari nama kesultanan Brunei—adalah nama yang dipakai oleh kolonial Inggris dan Belanda untuk menyebut pulau ini secara keseluruhan, sedangkan Kalimantan adalah nama yang digunakan oleh penduduk bagian timur pulau yang sekarang termasuk wilayah Indonesia.[6][7] Wilayah utara pulau ini (Sabah, Brunei, Sarawak) untuk Malaysia dan Brunei Darussalam. Sementara untuk Indonesia wilayah Utara, adalah provinsi Kalimantan Utara.
Dalam arti luas "Kalimantan" meliputi seluruh pulau yang juga disebut dengan Borneo, sedangkan dalam arti sempit Kalimantan hanya mengacu pada wilayah Indonesia.
Kejuaraan Dunia BWF (Inggris: BWF World Championships) atau Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis adalah kejuaraan bulu tangkis yang diorganisir oleh Badminton World Federation (BWF) untuk menentukan pemain bulu tangkis terbaik di dunia. Turnamen ini dimulai sejak tahun 1977 dan diadakan setiap tiga tahun sekali sejak tahun 1983. Walau bagaimanapun, IBF tetap kesulitan menggelar dua turnamen pertama karena Badan Bulu Tangkis Dunia (yang akhirnya bergabung dengan IBF menjadi satu badan) menggelar kejuaraan serupa setahun setelah Kejuaraan Dunia 1977 dengan tujuan yang sama.
Dimulai pada tahun 1985, kejuaraan diadakan setiap dua tahun sekali dan para pemain hanya berlaga satu kali dalam dua tahun hingga tahun 2005. Dan akhirnya, BWF memutuskan sejak tahun 2006, kejuaraan ini menjadi acara tahunan dalam kalender BWF dengan tujuan memberikan peluang besar bagi tiap-tiap pemain meraih gelar Juara Dunia Bulu Tangkis. Meskipun demikian, kejuaraan dunia tidak akan digelar pada tahun ke-4 penyelenggaraan setelah 3 tahun, untuk memberikan jalan pada Olimpiade.
Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (bahasa Inggris: Regional Comprehensive Economic Partnership, RCEP) adalah perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan sepuluh negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) (Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam) dan lima negara mitranya (Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru). Pada November 2019, India, negara mitra keenam, memutuskan keluar. Tiongkok pun menyatakan India masih bisa bergabung kembali.[1] Pada 15 November 2020, perjanjian RCEP telah disepakati dan ditandatangani oleh seluruh negara anggota ASEAN dan lima negara mitra dalam KTT ASEAN ke-37 tahun 2020 yang digelar secara virtual dengan Vietnam sebagai tuan rumah. Dengan ditandatanganinya perjanjian ini, RCEP menjadi blok dagang terbesar di dunia.
Perundingan RCEP dimulai pada November 2012 dalam KTT ASEAN di Kamboja.[2] Pada tahun 2017, keenam belas negara ini memiliki populasi 3,4 miliar jiwa dengan total produk domestik bruto (PDB, PPP) $49,5 triliun, sekitar 39 persen PDB dunia.
Pesta Olahraga Asia Tenggara (bahasa Inggris: Southeast Asian Games) atau biasa disingkat SEA Games adalah ajang multi-olahraga yang diadakan setiap dua tahun dan melibatkan 11 negara Asia Tenggara. Peraturan pertandingan di SEA Games di bawah naungan Federasi Pesta Olahraga Asia Tenggara (bahasa Inggris: Southeast Asian Games Federation) dengan pengawasan dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan Dewan Olimpiade Asia (OCA).
Selat Malaka[n 1] adalah sebuah selat yang terletak di antara Semenanjung Kra (Thailand Selatan dan Malaysia) dan pulau Sumatra (Indonesia).
Dari segi ekonomi dan strategis, Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Selat Malaka membentuk jalur pelayaran terusan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta menghubungkan tiga dari negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia: India, Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok. Sebanyak 50.000 kapal melintasi Selat Malaka setiap tahunnya, mengangkut antara seperlima dan seperempat perdagangan laut dunia. Sebanyak setengah dari minyak yang diangkut oleh kapal tanker melintasi selat ini; pada 2003, jumlah itu diperkirakan mencapai 11 juta barel minyak per hari, suatu jumlah yang dipastikan akan meningkat mengingat besarnya permintaan dari Tiongkok. Oleh karena lebar Selat Malaka hanya 1,5 mil laut pada titik tersempit, yaitu Selat Phillips dekat Singapura yang merupakan salah satu dari kemacetan lalu lintas terpenting di dunia.
Keberadaan Selat Malaka sebagai salah satu jalur perdagangan terpenting di dunia tidak bisa dilepaskan dari berbagai kepentingan. Dari segi kepentingan ekonomi dan militer, Selat Malaka merupakan choke points yang sangat strategis bagi proyeksi armada angkatan laut negara-negara yang memiliki kepentingan di Kawasan Asia Pasifik. Bahkan, Selat Malaka juga dapat menjadi “alat” dalam rangka forward presence ke seluruh penjuru dunia.[1]
Semua faktor tersebut menyebabkan kawasan itu menjadi sebuah target pembajakan dan kemungkinan target terorisme. Pembajakan di Selat Malaka menjadi masalah yang mendalam akhir-akhir ini, meningkat dari 25 serangan pada 1994 hingga mencapai rekor 220 pada 2000. Lebih dari 150 serangan terjadi pada 2003. Jumlah ini mencakup sekitar sepertiga dari seluruh pembajakan pada 2003.
Tren isu perompakan yang cenderung menurun ini tidak lantas menjadikan Selat Malaka terbebas dari ancaman perompakan. Pada tahun 2015 TNI Angkatan Laut berhasil menangkap perompak di Selat Malaka yang berusaha membajak salah satu kapal niaga di Selat Malaka.Kasus ini menjadi bukti bagaimana kasus perompakan tidaklah dianggap remeh dan belumlah selesai dalam penanganannya. Keberadaan ancaman yang lebih juga terlihat dengan maraknya kasus terorisme dan separatis di Asia Tenggara seperti MILF, GAM, Abu Sayyaf, dan Jamaah Islamiah (Puspitasari, 2014: 452). Hal ini membuktikan bahwa kawasan perairan di Selat Malaka yang belum aman dari berbagai ancaman. Perlu menjadi catatan kasus dan Thailand Selatan menjadi catatan akan rawannya konflik di kawasan Selat Malaka.[2]
Frekuensi serangan meningkat kembali pada paruh awal 2004, dan angka total dipastikan akan melebihi rekor tahun 2000. Sebagai tanggapan dari krisis ini, angkatan laut Indonesia, Malaysia dan Singapura meningkatkan frekuensi patroli di kawasan tersebut pada Juli 2004.
Ketakutan akan munculnya aksi terorisme berasal dari kemungkinan sebuah kapal besar dibajak dan ditenggelamkan pada titik terdangkal di Selat Malaka (kedalamannya hanya 25 m pada suatu titik) sehingga dengan efisien menghalang lajur pelayaran. Apabila aksi ini berhasil dilancarkan dengan sukses, efek yang parah akan timbul pada dunia perdagangan. Pendapat antara spesialis keamanan berbeda-beda mengenai kemungkinan terjadinya serangan terorisme.